Kesalahan prosuder etika engineering kasus lumpur lapindo
A.
Kasus
Etika Engineering
Banjir Lumpur
Panas Sidoarjo atau lebih dikenal sebagai bencana Lumpur Lapindo, adalah
peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di
Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan
ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian
di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di
Jawa Timur.
Lokasi pusat
semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang
merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok
Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut
diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur
tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan.
Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan
pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan
pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui.
Berdasarkan
pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan
Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah
B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal, Raksa,
Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti
Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil
pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.
Semburan lumpur
ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT
Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat
maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun.
Dilakukan 3
skenario penghentian semburan lumpur, 3 skenario itu yaitu :
1.
menghentikan luapan lumpur dengan menggunakan
snubbing unit pada sumur Banjar Panji-1.
2.
melakukan
pengeboran miring (sidetracking) menghindari mata bor yang tertinggal
tersebut.
3.
pemadaman lumpur dilakukan dengan terlebih dulu
membuat tiga sumur baru (relief well). Tiga lokasi tersebut antara lain:
Pertama, sekitar 500 meter barat daya Sumur Banjar Panji-1. Kedua, sekitar 500
meter barat barat laut sumur Banjar Panji 1. Ketiga, sekitar utara timur laut
dari Sumur Banjar Panji-1.
Namun ternyata
ketiga skenario ini tidak dapat menghentikan semburan lumpur yang terjadi
sehingga diambil solusi lain. Rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya
memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong.
Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur
dari 50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari, untuk
memberikan tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur
tersebut dan sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti
pembentukan lahan basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.
Dalam kasus ini,
Polda Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka yakni :
1.
Ir. EDI SUTRIONO selaku Drilling Manager PT.
Energy Mega Persada, Tbk.
2. Ir. NUR ROCHMAT SAWOLO, MESc selaku Vice
President Drilling Share Services PT. Energy Mega Persada, Tbk.
3.
Ir. RAHENOD selaku Drilling Supervisor PT.
Medici Citra Nusa.
4.
SLAMET BK selaku Drilling Supervisor PT. Medici
Citra Nusa.
5.
SUBIE selaku Drilling Supervisor PT. Medici
Citra Nusa.
6.
SLAMET RIYANTO selaku Project Manager PT. Medici
Citra Nusa.
7.
YENNY NAWAWI, SE selaku Dirut PT. Medici Citra
Nusa.
8.
SULAIMAN Bin H.M. ALI selaku Rig Superintendent
PT. Tiga Musim Mas Jaya.
9.
SARDIANTO selaku Tool Pusher PT. Tiga Musim Mas
Jaya.
10. LILIK
MARSUDI selaku Driller PT. Tiga Musim Mas Jaya.
11. WILLEM
HUNILA selaku Company Man Lapindo Brantas, Inc.
12. Ir.
H. IMAM PRIA AGUSTINO selaku General Manager Lapindo Brantas, Inc.
13. Ir.
ASWAN PINAYUNGAN SIREGAR selaku mantan General Manager Lapindo Brantas, Inc.
Namun perkara
pidana tersebut dihentikan oleh penyidik Polda Jawa Timur dengan alasan bahwa
dalam perkara perdatanya gugatan YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah
telah gagal. Selain itu, adanya perbedaan pendapat para ahli. Gerakan Menutup
Lumpur Lapindo pernah mengajukan nama-nama ahli tambahan, para ahli terkemuka
Indonesia dan luar negeri yang tergabung dalam Engineer Drilling Club (EDC)
yang mendukung fakta kesalahan pemboran berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan tersebut, tetapi ditolak oleh penyidik Polda Jawa Timur (tidak
ditanggapi).
B.
Kasus
Lumpur Lapindo dan kaitannya dengan etika engineering
Kasus lumpur
lapindo adalah bencana nasional bahkan mungkin internasional. Kasus ini telah
menggangu perekonomian negara ini. Banyak kerugian yang didapat baik dari
masyarakat maupun pemerintah. Tidak heran kasus ini mendapat perhatian dunia.
Berbagai spekulasi muncul menyatakan teori tentang asal muasal lumpur ini
diantaranya :
1. Menurut lapindo-brantas.co.id. Pasca
penyidikan, para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kegiatan
pengeboran dan semburan lumpur dan bahwa kegiatan pengeboran telah dilakukan
sesuai dengan peraturan pemerintah dan prosedur operasional yang telah
disepakati oleh rekan perusahaan. Para ahli geologi Lapindo Brantas Inc.
meyakini bahwa semburan lumpur tersebut memiliki kaitan dengan kegiatan seismik
akibat gempa yang terjadi dua hari sebelumnya, yang juga berkaitan dengan
aktifnya kembali Gunung Semeru yang terletak 300 km dari episentrum gempa bumi
di Yogyakarta.
2. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigas lapangan menggunakan
para ahli dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan kronologi
sebagai berikut: Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai
kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman tersebut terjadi total loss circulation
(hilangnya lumpur pemboran) dan kemudian LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici
Citra Nusa, pen) mencabut pipa bor. Pada saat mencabut pipa bor, terjadi kick
dan pipa terjepit (stuckpipe) pada
kedalaman 4.241 kaki. Pipa tidak dapat digerakkan ke atas dan ke bawah maupun
berputar/berotasi.
Hal ini sesuai
dengan analisis yang dilakukan oleh Rudi Rubiandini, ahli geologi dan pemboran
perminyakan dari ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi
Independen Semburan Lumpur Sidoarjo. Menurutnya, penyebab utama semburan lumpur
ini ada dua secara teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan tekanan dari
bawah yang tidak terkontrol. Kedua, tidak
terpasangnya casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200, karena kedua
penyebab ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi semburan.
Diperkirakan bahwa
Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboranini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah.
Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona
Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor
di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.
Pendapat tentang gempa sebagai penyebab lumpur lapindo
telah ditolak oleh para ahli dalam konferensi di cape town, afrika selatan yang
dilaksanakan oleh 90 orang ahli geologi dunia.
42 ahli geologi menyimpulkan PT Lapindo Brantas melakukan kesalahan
prosedur pengeboran sehingga mengakibatkan munculnya lumpur ke permukaan.
Sedangkan faktor gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum
munculnya semburan lumpur hanya didukung oleh tiga geolog. Ahli lain tidak
berpendapat atau menyebut semburan lumpur dipicu dua faktor, yakni kesalahan
pengeboran dan gempa bumi. Adanya teori gempa sepertinya hanya alasan yang
dijadikan lapindo brantas atau tepatnya para engineer di lapindo untuk menutupi
kesalahan yang telah mereka buat. Isu itu digembar-gemborkan agar mereka tidak
terkena dampak hukum maupun sosial dari masyarakat.
Usaha ini membuahkan hasil tidak ada
satupun yang dinyatakan bersalah Hal ini memperlihatkan kurang tegasnya
penerapan etika engineering dan hukum di negara kita. Walaupun sudah terlihat
jelas bahwa penyebabnya adalah pengeboran oleh lumpur lapindo dan bukan karena
faktor alam. Disini terlihat bagaimana pemerintah masih patuh dan tunduk
terhadap ekonomi yang berkuasa. Kasus ini ditutup dengan faktor alam sebagai
kambing hitamnya.
Etika engineering yang masih
dipandang sebelah mata di negara kita mungkin berperan besar dalam menyumbang
tragedi ini. Faktor terlambatnya dipasang casing pada kedalaman 3580 sampai
9200 meter menyebabkan terjadinya keretakan kemudian menghasilkan semburan.
Peran seorang rekayasawan sangat terlihat disini, bagaimana pengambilan
keputusan seorang rekayasawan dapat menentukan berapa keuntungan dan kerugian
yang akan negara dan masyarakat dapat.
Namun sayangnya dikasus ini yang
kita dapat adalah sebuah kerugian sangat besar baik materi maupun moril. Banyak
warga yang kehilangan rumah, infrastruktur milik pemerintah yang rusak dan lain
sebagainya. Kesalahan dalam pengambilan keputusan Aktivitas pengeboran, teknik
apa yang digunakan, serta lokasi pengeboran yang dilakukan oleh manusia telah
mengakibatkan kegagalan pengoperasian sistem teknologi. Seperti yang dipaparkan
James Chiles dalam Inviting Disaster: Lessons from the Edge of Technology
(2002) banyak kasus kegagalan teknologi yang tidak hanya merugikan secara
ekonomis tetapi juga menelan ribuan nyawa. Tidak jarang bencana teknologi
terjadi hanya karena satu kesalahan kecil yang tadinya dianggap remeh. Kasus
Three Miles Island di Pennsylvania, Union Carbide di Bhopal, dan kebocoran
nuklir di Chernobyl adalah contoh-contoh mengerikan bagaimana teknologi mampu
menjadi mesin pembunuh massal. Bencana lumpur Lapindo memiliki karakter yang
sama karena berawal dari keputusan teknis yang sepele namun ceroboh.
Dalam pengambilan suatu keputusan
seorang rekayasawan harus memperhatikan etika rekayasa. Etka rekayasa adalah studi
tentang permasalahan dan perilaku moral, karakter, cita-cita orang secara
individu dan ataupun secara berkelompok yang terlibat dalam perancangan,
pengembangan dan penyebarluasan teknologi. etika rekayasa menjadi hal yang
penting dan perlu selalu dikaji oleh seorang rekayasawan agar memahami
batas-batas tanggung jawabnya. Dengan studi etika rekayasa seorang rekayasawan
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalarannya agar lebih efektif di
dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan moral. Jadi tujuan etika
rekayasa adalah untuk meningkatkan otonomi moral, yaitu kemampuan untuk
berpikir secara rasional tentang isu-isu moral berlandaskan kaidah-kaidah moral
yang berlaku.
Etika rekayasa mencakup kepentingan dan keselamatan publik.
Oleh sebab itu, sudah sewajarnyalah para engineer-engineer sebelum merancang
suatu infrastruktur, mereka juga memikirkan dampaknya bagi lingkungan dan
masyarakat di sekitarnya. Seorang rekayasawan juga perlu memikirkan keselamatan
pekerja para pembangun infrastruktur tersebut. Pemilihan lokasi dan pemasangan
yang tepat juga perlu diperhatikan agar kejadian seperti ini tidak perlu
terulang.
Jika saya menjadi salah seorang
rekayasawa yang berperan dalam proses kejadian lumpur lapindo ini, maka
langkah-langkah yang akan saya lakukan adalah :
1. Yang
pasti kalau memang lumpur lapindo yang terjadi karena faktr kesalahan dari tim
saya, saya tidak akan menggemar-gemborkan isu lain seperti gempa. Saya akan
melakukan konferensi pers yang isinya meminta maaf kepada semua pihak yang
telah merasa dirugikan karena adanya kejadian ini termasuk di dalamnya
pemerintah.
2. Saya
akan mengundang para ahli di bidangnya untuk meneliti cara penanggulangan
lumpur lapindo ini. Saya juga akan membeberkan fakta dan kronologi yang
selengkapnya demi membantu proses penanggulangan bencana ini.
3. Saya
akan berusaha dengan maksimal untuk mengganti kerugian yang didapat oleh
masyarakat. Saya akan berusaha mencari dana baik dari pemerintah maupun lapindo
brantas sendiri.
Mungkin
jika sekarang para engineer yang telah “matang” membaca tulisan ini, mereka
hanya akan mencibir karena tidak yakin dengan apa yang bisa saya lakukan ke
depannya. Dengan tekanan dari banyak pihak untuk tidak mengekspos sebenarnya,
dengan banyaknya ancaman untuk mengalihkan fakta dan banyak tantangan lainnya.
Saya yakin akan sangat susah untuk tetap lurus sesuai dengan etika engineering.
Kebanyakan akan lebih banyak berada di zona abu-abu, tidak terlihat hitam
maupun terlihat putih dari sebagian pihak. Kebanyakan akan memilih mencampurkan
hitam dan putih keduanya agar tidak berada dalam satu sisi manapun. Tapi inilah
saya sekarang, saya yang masih seorang mahasiswa FTSL 2011, yang baru saja belajar
etika engineering, saya sampai saat ini masih yakin, Apabila saya dihadapkan
dengan kondisi seperti itu saya akan mengedepankan kepentingan publik dan
keselamatan orang lain dibanding dengan kepentingan saya sendiri. Jika sejak
berstatus mahasiswa saya tidak yakin dengan komitmen ini, apalagi nanti jika
saya sudah menajdi seorang engineer?
Sumber:
- lapindo-brantas.co.id
- jawapos.co.id
- Rahmaswordblogspot.com